Pulau Jawa, seperti kita ketahui bersama merupakan pulau terpadat yang ada di negeri kita ini. Memiliki keragaman budaya dan keindahan alam yang tak ada habisnya untuk dikunjungi.
Menjelajahi keindahan alam hutan dan pegunungannya merupakan suatu mimpi yang selalu setia mengisi tidur malamku, ya..hingga saat ini, ketika beberapa tahun berlalu dan aku jarang bisa mencumbu harumnya pinus di ketinggian-ketinggian itu.
Cerita perjalanan yang pernah aku alami, sama sekali tak lekang dimakan waktu, termasuk satu yang cukup berkesan untukku yang kali ini coba aku ceritakan kembali. Bersiaplah, kita akan menuju tanah tertinggi pulau Jawa, menapaki Puncak Para Dewa, di atap pulau Jawa menyambangi sepotong jalur yang pernah menuliskan kisah mengharukan tentang seorang pelopor Kepecintaalaman di Indonesia, Soe Hok-Gie. Selamat datang di puncak Mahameru, Gunung Semeru di ketinggian 3.676 mdpl.
Aku teringat kala itu aku masih ada di Surabaya dan telah menyelesaikan studiku, sementara aku masih ingin ada di pulau Jawa lebih karena aku mulai jatuh cinta pada keelokan gunung-gunung yang ada di Jawa Timur khususnya. Tim kali ini beranggotakan 5 orang yang kesemuanya adalah anak BY, yang tak satupun ada di tempat yang sama kecuali tim Jakarta. Aku di Surabaya, Widi di bali, Taufik di Jakarta, Priastina di Jogjakarta, Oryza di Malang dan si Bontot Jupi saat itu baru akan memulai studinya di Jakarta.
Seperti biasa, aku menikmati tugasku sebagai koordinator perjalanan mulai dari menyiapkan check–list perjalanan, menginformasikan akomodasi menuju titik pertemuan kami di Malang, urusan pembagian tugas untuk menyiapkan informasi jalur, koordinat peta, GPS dan sebagainya pada Oblah yang ahli Geodesi dan Oryza sebagai tuan rumah, sudah barang tentu bertugas survey perijinan, jalur, persiapan peta, dan kekurangan-kekurangan kelengkapan tim. Semua tahap awal persiapan kami lakukan lewat e-mail dan komunikasi sms kala itu, dan juga beberapa kali kedatanganku ke Malang untuk mempersiapkan logistik beberapa hari sebelumnya.
Hari pertemuan masih aku isi dengan pergi ke kantor hingga sore menjelang aku baru berangkat menuju Malang dengan perasaan gembira membuncah di dada, sudah lama menyiapkan carrier baru untuk perjalanan ini, tak sabar menjajal kemampuan sepatu trekerku; di jalur kubah berpasir Mahameru; yang juga baru beberapa kali aku gunakan dalam pendakian awal di tahap persiapan fisik sebelum menjejak Mahameru.
Setiba di tempat pertemuan, rupanya para lelaki ini keasikan bernostalgila hingga melupakan kewajiban yang seharusnya mereka kerjakan untuk mengejar tenggat waktu hari itu untuk sampai di desa Tumpang sebelum larut malam. Niscaya aku kebagian bantu-bantu packing lagi deh. Tak mengapa, ternyata memang mengasikkan berbincang setelah sekian lama tak bertemu brother-brotherku ini, suasana packing jadi begitu menyenangkan, mengecek kelengkapan dan kesiapan tim pun tak terasa kami selesaikan dengan cepat.
Matahari telah lama terlelap di penghujung sore tadi, kami memulai perjalanan menuju terminal Arjosari Malang untuk menumpang angkot menuju Tumpang. Setiba di Tumpang kami sudah mempersiapkan angkutan menuju desa terakhir Ranu Pane esok pagi yakni jeep yang biasa disewakan untuk mengangkut pendaki ke pos lapor pendakian di Ranu Pane.
Sebenarnya ada alternatif hemat untuk sampai ke Ranu Pane yaitu dengan menumpang truk sayur petani yang lalu lalang pada jam-jam tertentu dari Tumpang ke Ranu Pane, hanya Karena kami ingin menikmati sensasi menaiki jeep melalui jalur offroad menuju Mahameru, maka kami sepakat menyewa jeep yang sebelumnya telah kami siapkan. Malam itu kami lewati dengan menginap di rumah Pak Herman, sopir jeep yang tadi telah setia menunggu kedatangan kami dari Malang dan menjemput kami di pasar Tumpang.
Pagi yang cerah di desa Tumpang. Beberapa truk bermuatan hasil kebun khas dataran tinggi lalu lalang di depan rumah Pak Herman, saatnya untuk menaikkan carrier-carrier ke atas jeep.Hari ini Pak Herman ditemani seorang navigator namanya Pak Slang (orangnya berwajah serius tapi lucunya minta ampun, menjadi guide sepanjang perjalanan di atas jeep).
Knalpot jeep meraung memecah pagi itu di jalanan desa menanjak melewati rumah-rumah penduduk dan kebun apel di kanan kiri jalur. Hmm…Mahameru belum terlihat dari arah sini. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kami mengagumi landscape alam di sini. Keramahan penduduk juga menjadi pemanis perjalanan apalagi saat kami dibekali beberapa kantong apel Malang oleh petani-petani yang sempat disambangi dan disapa oleh Pak Herman di perjalanan, nikmatnya perjalanan di negeriku yang ramah, Indonesia.
Tepat ketika di ufuk timur mentari meninggi, muncul di balik punggung Mahameru yang bisa kami saksikan dengan begitu agungnya di areal kawasan wisata gunung Bromo yang bisa kami saksikan dari jalur menuju Ranu Pane.
TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Indonesia yang memiliki keunikan berupa laut pasir seluas 5.250 hektar, yang berada pada ketinggian ± 2.100 meter dari permukaan laut. Ditunjuk sebagai taman nasional sejak tahun 1982 dengan luas wilayahnya sekitar 50.276,3 ha. Secara administratif pemerintahan termasuk Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Malang Propinsi Dati I Jawa Timur. Letak geografis 7°51’ – 8°11’ LS, 112°47’ – 113°10’ BT.
Pos lapor pendakian gunung Semeru boleh dibilang memiliki suasana yang cukup hidup dibandingkan pos-pos lapor lainnya; kalau di Jawa sih bisa dipastikan pos-pos lapor gunung-gunung tingginya selalu dijaga dengan baik oleh para Jagawana; mengingat kegiatan mendaki gunung masih sangat populer di kalangan anak muda dan organisasi para pecinta alamnya.
Yang unik di sini, barang-barang bawaan kita diperiksa oleh penjaga pos, beberapa ketentuan pendakian juga disampaikan pada kami, informasi jalur dan karakter-karakternya serta satu yang sangat ditegaskan bahwa sampah pendakian yang tak bisa diurai tanah harus di bawa serta saat turun nanti. Dari cerita teman-teman pendaki yang pernah aku temui, mereka juga mengatakan harus siap-siap menerima sanksi jika ketahuan membawa edelweiss dari Mahameru, walah…
Proses lapor selesai, memastikan waktu penjemputan kembali oleh Pak Herman 3 hari mendatang, dan packing kembali telah usai. Kami mengisi waktu dengan melihat-lihat peta jalur pendakian dan catatan waktu yang diperlukan dalam pendakian ini serta info jalur yang ada di pos.
Kami akan melalui jalur normal yang relatif panjang namun cukup landai sepanjang 7km dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam. Satunya lagi jalur gunung Ayek-Ayek yang lebih singkat namun dipastikan akan menanjak sepanjang jalur. Berhubung hari masih pagi dan estimasi waktu tiba di Ranu Kumbolo; tempat camp kami malam nanti; masih mencukupi untuk selesai ditempuh sebelum malam, maka kami pun menjelajahi desa Ranu Pane pagi itu yang masih berkabut tipis.
Desa Ranu Pane; Ranu artinya danau; merupakan desa terakhir untuk menuju Mahameru. Memiliki 2 danau yang menghidupi pertanian warga di sini. Danau Ranu Regulo terletak lebih ke dalam dari jalanan desa, biasa digunakan sebagai tempat berkemah di akhir minggu oleh para wisatawan, juga sebagai jalur awal pendakian jalur Ayek-Ayek. Puas berkeliling dan waktu menunjukkan menjelang tengah hari, maka kami pun bergegas kembali ke pos dan bersiap memulai perjalanan. Dengan doa, langkah pertama kami jejakkan menuju sang Mahameru di gunung Semeru.
Jalur panjang yang cukup landai untuk ukuran mencapai jalur ke puncak, tidak begitu menyulitkan tim meski di beberapa titik tanjakan membuat kami berhenti sejenak mengatur nafas. Dominasi tanaman hutan tropis masih menghiasi hingga tiba di jalur yang bertebing batu setinggi mencapai 30-40 meter d kanan jalur, vegetasi mulai bercampur dengan pinus, kawasan ini di kenal dengan nama Watu Rejeng.
Membuka jalur setelah melalui Watu Rejeng, sebuah tanjakan singkat yang tak tanggung-tanggung berkemiringan sekitar 600 membuat senyum nyengir bercampur getir di wajah kami. Hajar bleh!!! Sampai juga di ujung tanjakan dengan kepala pening kehabisan nafas. Di kejauhan asap letusan kawah Jonggring Saloko di puncak Mahameru mulai nampak.
Samar-samar danau Ranu Kumbolo mulai pun terlihat di balik kabut tipis yang mulai turun, memompa semangat untuk menuntaskan perjalanan hari ini. Wow…rupanya kami tak sendiri dalam pendakian hari ini, ada serombongan pecinta alam SMA yang juga melakukan pendakian. Ranu Kumbolo tampak cantik diterpa sinar kemerahan tenggelamnya sang mentari hari ini, menutup kisah kami di hari pertama di Semeru.Selamat pagi… Benar cerita-cerita pendaki yang telah mendaki Mahameru sebelum kami. Pagi itu, permukaan Ranu Kumbolo ditutupi oleh asap tipis yang dihasilkan oleh air danau. Tenda kami ditutupi oleh bunga-bunga es, wah…perasaan senang begitu memenuhi hati kami menikmati indahnya waktu di sini pagi ini. Jupi sang Junior, menjadi bulan-bulanan kami saat adu lempar bola es, hahaa…nasib jadi junior di pendakian, urusan cuci perlengkapan masak pun dilimpahkan padanya selain maksud hati para senior ini melatih Jupi untuk tak takut air danau lagi; padahal kamipun tak sudi menyentuhnya lagi, dinginnya bener-bener membekukuan buku-buku jari.
Tempat-tempat cantik di Semeru ini menyimpan begitu banyak kisah. Perjalanan kami hari ini pun akan diawali dengan satu kisah unik bernama jalur Tanjakan Cinta. Entah darimana mulanya ada yang mengatakan bila dilihat dari kejauhan area perbukitan tanjakan ini menyerupai bentuk hati. Ada juga yang percaya bila mampu melalui tanjakan ini tanpa berhenti selangkah pun, maka segala doa dalam percintaan akan terkabul.
Nah, urusan yang satu ini yang tertarik tak cuma Jupi, Bli Oblah sang GPS Man pun; meski GPS na rada suka ngaco juga dalam menentukan koordinat perjalanan kami; juga sangat bersemangat menapaki jalur Tanjakan Cinta, dan alhasil, seluruh tim sukses sampai di ujung tanjakan tanpa jeda sedikitpun. Senyum penuh arti mengingat doa-doa dalam hati hati menghiasi wajah-wajah kami.
Hampir mirip dengan Rinjani, Semeru memiliki beragam jalur dan kawasan yang membentang sepanjang jalur menuju puncaknya. Di sini pun dapat ditemui jalur sabana layaknya kawasan timur Indonesia dengan vegetasi padang ilalang dan lavender setinggi dada, disebut kawasan Pangonan Cilik dan Oro-Oro Ombo; bagi Oblah keukeuh menyebut kawasan ini Oro-Oro Omb(L)o; pun memiliki sejarahnya sendiri. Begitu cantik, berwarna kuning keemasan diselingi ungu dan hijau bebungaan, serasa berada di taman bunga saat ada di jantung sabana ini.Meniti beton penunjuk arah setia menemani sejak di awal pendakian hingga Cemoro Kandang kami lewati. Mulai penuh debu dan pasir dari letusan vulkanik mengantar kami tiba di Kali Mati, sungai kering jalur lahar Semeru, berada di kawasan luas yang landai, cukup untuk main bola beberapa tim, berdiri sebuah shelter permanen yang menurutku mulai nampak memprihatinkan karena diterjang angin sepertinya. Memilih menepi di bawah pinus-pinus berlindung dari sengatan matahari yang membakar kulit siang ini.
Mengecek kembali perlengkapan terutama persediaan air, karena di sini tempat terakhir bisa ditemukan mata air yang letaknya pun cukup jauh. Ini baru namanya tanjakan penuh tantangan dan maut yang sepertinya bersuka cita menyambut siapa saja yang lengah. Jalur labil di atas jurang dengan longsoran di sana sini membuat konsentrasi ekstra dengan beban di punggung. Jalur menuju Arcapada, tempat camp terakhir kami sebelum menuju puncak Mahameru tengah malam nanti. Berpegangan pada pinus-pinus yang sekiranya masih kokoh berdiri, berhati-hati memilih pijakan menghiasi penuntasan pendakian hari ini.
Banguuuunnnnn!!!
Rupanya bukan weker atau teriakanku yang membangunkan kami, tapi kerlip lampu senter dan langkah kaki melewati tenda kami yang menyadarkan kami untuk segera bersiap melakukan summit attack. Ternyata ada tim lain yang menyusul kami kemarin, Kawaru, salah satu kelompok pencinta alam dari Surabaya yang malam ini menuju puncak dalam jumlah kelompok besar.
Sementara tetangga kami para PA SMA yang semalam sepertinya mengalami beberapa kejadian aneh; sepertinya kesurupan…tapi kami semua pura-pura cuek aja melanjutkan tidur mengingat kisah tentang Arcapada ini cukup membuat merinding untuk mencari tahu kejadian apa yang menimpa mereka malam kemarin; rupanya belum terlihat tanda-tanda melakukan persiapan. Iseng menyambangi tenda mereka yang selangkah dengan jalur menuju jalur puncak, rupanya benar kejadian semalam ada salah seorang dari mereka mungkin karena kelelahan berlebih mengalami hipotermia sehingga layaknya orang kesurupan. Jadi mereka memutuskan melihat perkembangan situasi untuk menuju puncak.
Tak lama setelah meninggalkan kawasan kemah, kami bertemu kembali dengan rombongan Kawaru, rupanya mereka sedang mengambil waktu untuk istirahat. Kami mendahului mereka. Satu-satu langkah menapaki jalur setapak menanjak di bawah temaramnya bulan dan lampu senter. Deg! Tiba-tiba langkahku yang berada paling depan dari tim terhenti, ketika menyadari sesuatu yang aku sentuh dan lihat di keremangan di pertengahan jalur.
Palang-palang beton berpengaman rantai yang telah rompal karena longsor, menyulitkan orientasi untuk memilih jalur. Belum lagi tak berapa lama di tengah jalan tiba-tiba terbaca olehku “dalam kenangan kawan dan sahabat tercinta kami, Kelik”. Benar, kami telah tiba di Kelik. Jalur terakhir sebelum memasuki kawasan kubah pasir Mahameru, yang penuh cerita mistis, tempat terakhir bertemu jajaran pinus-pinus sebelum jalur di depan hanya dikuasai satu-satunya pinus sebagai penunjuk arah, Cemoro Tunggal yang melegenda, beberapa ratus meter di atas sana.
Kawasan Kelik penuh dengan plakat-plakat dari batu marmer untuk mengenang kematian pendaki yang tewas di Semeru, sepanjang jalur yang sudah tak jelas lagi kondisinya, dengan mudah kami temui batu-batu nisan itu. Bergaya kaca mata kuda, kami meneruskan perjalanan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang atau meneliti kondisi pepohonan di kanan kiri kami, hehe…pokoknya segera meninggalkan Kelik.
Oblah mulai sibuk menyesuaikan titik awal pendakian kami di kubah pasir ini, mengingat jalur di atas akan sangat berbahaya dan menyesatkan karena sangat mirip serta menyembunyikan kawasan longsor pasir dan debu vulkanik yang sangat rapuh. Ilmu peta kompas ternyata akhirnya berguna juga malam ini. Membidik Cemara Tungal, menyimpan koordinatnya dalam GPS, melayangkan pandangan pada puncak yang masih nampak gagah menanti perjuangan kami malam ini.Fiuh…benar, inilah jalur utama Mahameru. Dua tiga langkah kaki kita akan ditukar dengan amblasnya pijakan yang kadang membuat kami kembali ke pijakan awal. Kemampuan memilih jalur dan teknik berjalan di kemiringan apalagi berpasir debu seperti ini benar-benar menguji mental. Melewati Cemara Tunggal dalam kesendiriannya yang berdiri kokoh menerjang angin puncak menuju lembah Semeru, membebaskan pandangan kami ke arah kerlip-kerlip senter di tengah hutan pinus di belakang kami dan juga suasana lelapnya kota-kota di kaki Semeru.
Malam masih panjang, gemintang semakin menakjubkan untuk dinikmati, ditemani sang rembulan yang malu-malu rupanya berada di balik punggung Mahameru sedikit menerangi langkah kami tanpa lampu senter. Seperti berada di sebuah kapal layar mengarungi angkasa, tubuhku terasa melayang ringan mengikuti rotasi bumi melalui bintang-bintang di atas sana, sapuan angin dingin di wajahku mengingatkan untuk segera kembali menapaki langkah tanpa menyerah. Tak nampak tanda-tanda kelompok-kelompok tadi menyusul kami. Hmm…apa gerangan yang terjadi dengan mereka? Ah…sudahlah, nanti di puncak kita pikirkan tentang mereka.
Langit mulai kemerahan, Oblah telah ganti memimpin di depan bersama GPSnya memandu kami meniti igir-igir punggungan Mahameru. Wajah penuh debu, baju dan daypack sedemikian rupa berubah warnanya menjadi abu-abu penuh pasir, mengantarkan kami bergandengan tangan menapaki dataran puncak Mahameru pagi ini tepat sesuai jadwal, saat sang surya pagi ini begitu sumringah menyambut hari ini di atas tanah tertinggi pulau Jawa serta mengijinkan kami menikmati keheningan puncak hanya untuk kami berenam pagi hari ini.
Ya, belum nampak seorangpun dari dua tim yang kami temui di perjalanan tadi di puncak, yang tanahnya menyerupai permukaan bulan. Batu-batu sebesar kepalan tangan hingga sebesar kepala kami berserakan di sana sini. Debu halus menutupi sepanjang area puncak yang sangat luas. Nampak di kejauahan arah timur laut, mulai tumbuh cendawan khas Mahameru keluar dari kawah Jonggring Saloko. Letusan pertama sang Wedhus Gembel Semeru bagi kami yang bisa kami nikmati dalam jarak tak kurang da
ri 500 meter pagi ini. Dan satu kebanggan yang mengharukan, di puncak kami bisa menemukan plakat in memoriam-nya Soe Hok-Gie yang tewas di jalur kubah pasir Semeru.
Cantik. Sempurna. Hanya decak kagum yang keluar dari bibir dan hati kami dalam sujud kami pagi ini di puncak tertinggi di Jawa Dwipa, Puncak Para Dewa, Puncak Mahameru. Keunikan Mahameru dengan semburan letusan dari dasar kawahnya merupakan daya tarik tersendiri, menyembur ke udara setiap 20-25menit sekali.
Awas, jangan terlalu terlena dengan pemandangan ini, tetap jaga jarak aman, dan harus menepati instruksi untuk turun dari puncak sebelum jam 9 pagi, karena angin akan membelokkan arah semburan kawah yang berupa gas beracun dan bebatuan menuju arah jalur turun puncak. Teringat akan kisah Soe Hok-Gie dalam tragedi yang menimpanya beberapa tahun silam.
Elang Botak, kau tiba juga di tanah ini hari ini…
Sumber: intenarsriani.wordpress.com