Kawasan Pura Luhur Pucak Mangu
Puncak Mangu lebih dikenal oleh kalangan masyarakat umumnya di Bali, sementara menurut beberapa sumber gunung di mana puncak Mangu berada adalah Gunung Catur. Terletak di kawasan gunung purba dataran tinggi Bedugul, kawasan yang merupakan wilayah kabupaten Tabanan dan merupakan jalur menuju kabupaten Buleleng di utara Bali.
Puncak Mangu merupakan kawasan suci umat Hindu dan merupakan sebuah kawasan persembahyangan di mana Pura Pucak Luhur Gunung Mangu berada. Sebuah kawasan pura yang terdiri dari beberapa pelinggih dan terdapat dua bale pesandekan atau bale peristirahatan yang biasanya dipergunakan untuk kepentingan upacara dan istirahat para pamedek.
Menurut penanda jalur puncak Mangu berada di ketinggian 1.900 mdpl, namun dalam altimeter yang kami bawa kawasan ini berada di ketinggian 1.950 mdpl.
Yang istimewa dari perjalanan kali ini adalah anggota termuda kami yaitu Dhanes, umurnya baru saja lewat 2 tahun tak lebih dari sebulan lalu. Ayah Dhanes dan mama Dhanes sudah pasti turut serta dan memang berniat mengajak buah hati mereka dalama perjalanan kali ini, disamping mereka sudah cukup sering menjajal jalur ini, mereka juga ingin agar Dhanes bisa tumbuh jadi anak yang pemberani dan gampang bersosialisasi. Maka berangkatlah kami siang itu setelah lewat tengah hari dengan melalui jalur setapak yang sangat jelas karena telah disediakan jalur berupa setapak berbatu yang disediakan untuk mempermudah para umat Hindu bersembahyang di Pura Luhur Pucak Mangu.
Normalnya perjalanan ini dapat ditempuh dalam dua hingga tiga jam perjalanan kata beberapa orang yang telah beberapa kali mendaki. Berhubung kali ini papa Dhanes harus menggendong Dhanes yang beratnya hampir sama dengan berat bawaanku mendaki, 11 Kg, maka perjalanan rata-rata diisi dengan 15 menit menanjak, lalu istirahat. Dan, Dhanes selalu merengek saat Papa Dhanes rehat, hahaa… “ayo jalan Pa….”, tentu dengan bahasa Dhanes yang hanya Papa-Mama Dhanes yang paham.
Jalur banyak diisi dengan jalur tangga yang menanjak curam. Dua puluh menit pertama kita akan menemui palinggih atau pura kecil kedua setelah pura pertama di gerbang pendakian. Dilanjutkan dengan pohon kembar yang juga difungsikan sebagai tempat sembahyang pada setengah perjalanan. Dari sini jalur tetap berlanjut dengan setapak semen berbatu yang masih menanjak hingga pada jalur mulai mendatar dan turunan kita akan berakhir di pura Beji, yaitu pura yang merupakan area yang terdapat mata air yang berasal dari rembesan pepohonan sekitar pura. Sayang sekali kali ini kondisi kering dan menurut Agus, ini kali pertama dari sekian kali pendakiannya mata air ini kering.
Hmmm…sedemikian parahkan kekeringan di sekitar area yang sejauh mata memandang masih terlihat pohon-pohon hutan nan rimbun. Akhirnya keadaan ini makin dikuatkan oleh kehadiran seekor monyet yang nampak sangat kelaparan. Dengan garang sang monyet menyeringai memperlihatkan taring-taringnya kepada kami dan mendekati kami untuk mendapatkan makanan. Sang monyet benar-benar membuat kami gentar. Terpaksa berpasrah diri ketika canangsari yang kami tempatkan di luar tas digasak habis. Syukurnya sang monyet dapat kami alihkan sejenak dengan apel yang kami lempar jauh-jauh sehingga kami punya waktu bergiliran untuk bersembahyang.
Sayang itu hanya sementara. Akhirnya tak pikir panjang kami segera berkemas dan bergegas melanjutkan perjalanan ketika beberapa kawanan monyet mulai datang. Tak cukup sampai di sini, satu gantungan kresek yang berisi banten pada tas Andre rupanya sudah diincar dan ketika kami coba packing ulang kami ditunggui sekor monyet yang membuat kami tunggang langgang.
Fiuuuhhhh….cukup membuat khawatir bagaimana keadaan di puncak, ditambah ketika kami berpapasan dengan beberapa orang rombongan yang telah kembali dari puncak mengatakan di puncak cukup banyak monyet. Aiiihhhh…mulai menyusun strategi dan berdoa semoga jelang sore kami tiba monyet-monyet ini kembali ke sarangnya. Dan benar, beberapa saat menjelang puncak, kami mendengar langkah-langkah dan gerakan-gerakan kawanan monyet menuruni puncak. Haahhh…lega….ketika tiba di puncak setelah 3,5 jam perjalanan kami disambut suasana tenang dan cerah yang menyajikan pemandangan yang menggantikan degup jantung sedari tadi akibat monyet-monyet tadi.
Malam itu berlalu dengan deru angin cukup kencang. Dhanes yang tadinya tenang, tiba-tiba terbangun dan mulai mengigau. Ah, Dhanes kedinginan pastinya. Untungnya segera kami sadari dan atasi dan tak sampai setengah jam Dhanes sudah mulai nyaman dan memilih tak kembali tidur. Kami menemani Dhanes di depan api unggun hingga hampir subuh dan dengan dipaksa Dhanes akhirnya bisa dibuat tidur dalam sleeping bag dan dekapan mama.
Maka pagi itu kami bangun kesiangan, hahaa…santai saja menikmati pemandangan cantik pagi ini, sekeliling dataran tinggi Bedugul dengan gugusan gunung-gunung purba seperti Gunung Lesung, Catur hingga Batukaru di sisi kiri. Nun jauh di sana muncul Raung, Ijen hingga Baluran. Dan di sisi berlawanan kami bisa melihat gunung Batur bersebelahan dengan matahari yang malu-malu terbit pagi itu, didampingi gunung Abang dan Agung yang tersembunyi oleh pepohonan pinus. Dan Tak lupa, Rinjani melengkapi koleksi kecerahan pagi itu. Danau-danau sekitarnya yaitu Beratan dan Buyan I nampak di kejauhan. Sumber mata air pulau Bali ini juga sudah mulai memprihatinkan kondisinya. Contohnya danau Buyan yang dalam 1 dekade terakhir menyusut terus-menerus. Semoga kita bisa tersadarkan dan segera bertindak, ada harta berharga kita yang sedang menguap perlahan. Change your habbits or the climate will.
Hari itu banyak pendaki maupun umat yang bersembahyang kami temui ketika menuju jalur turun. Mudah-mudahan kegiatan opsih hari kemarin yang dilakukan oleh rekan Sispana Bhuana Yasa SMA 4 Denpasar dan beberapa teman senior mereka, Bli Wiragunarsa, tak sia-sia. Sepanjang jalur yang kami lalui cukup bersih, hanya di areal pura Beji yang sedikit bersampah sepertinya dikarenakan oleh keberadaan monyet galak kemarin yang membuat siapa saja memilih tak berlama-lama di sekitar sana. Jadilah pejalan yang bertanggung jawab, ga cuma jadi turis. Karena berkunjung hanya untuk selfie, jepret kanan kiri, upload dan sombong di medsos itu uda basi. Keren itu adalah kamu berkunjung dan berkontribusi pada sekitarmu, dalam bentuk sekecil apapun untuk tetap menjaga kelestarian, kenyamanan, keindahan dari tempat yang kamu kunjungi.
Semoga, Dhanes mengingat perjalanan pertamanya ini suatu hari nanti dan menjadi satu dari sekian yang akan dia lalui sebagai yang terbaik. Sampai jumpa lagi, Dhanes…
Sumber: intenarsriani.wordpress.com