Rinjani: The Red Hot Moon

Maka ini menjadi sebuah obituary…

Yang seyogyanya mungkin hanya sebuah cerita lanjutan sekian tahun lalu dari cerita sebelumnya…yang harus aku rampungkan dengan cara begini.

Setelah 9 tahun catatan ini rampung di sini, jarang-jarang aku menulis dengan sedemikian keras berusaha lebih karena terlampau lama tidak langsung dituangkan ketika kembali dari perjalanan, hahaa…
Sayang, cerita ini akan aku tutup untuk menggenapi kisah perjalanan hidup rekan seperjalanan di kali pertama dan terakhirnya bersama Dewi Anjani…di keindahan Rinjani…

Sejujurnya aku hampir lupa pagi itu kami berkemas jam berapa, yang jelas pagi itu si Red Hot Moon” Boy nongol dari dalam tenda dengan senyum kocaknya dan melantunkan “under…the red hot moon take a bus downtown …” yang jadi lagu sepanjang jalan. Sampai sekarang pun tiap dengar lagu itu yang terbersit adalah si Lunatic Boy dengan walkman yang diatur bisa di dengar lewat speakernya. Perjalanan nampaknya lancar hingga sore menjelang kami sedikit salah jalur ketika tiba di punggungan Pelawangan Sembalun. Yang terlihat sore itu di puncak punggungan arah kanan kami beberapa porter melintas. Dan kami pun berbelok ke kanan menanjaki jalur terjal dan tiba dengan nafas setengah tertinggal di bawah sana. Rupanya yang barusan kami lewati adalah jalur pintas porter. Hadeh, buat kami yang nubie ini malah menjadi penambah beban karena sama saja akhirnya sampai puncak punggungan kami butuh waktu lama.

Sore berkabut seingatku. Tak bisa menikmati pemandangan fenomenal Segara Anak dari atas sini. Perlengkapan dan persiapan summit juga tak lama kemudian kami siapkan. Jaman itu, camp terakhir di seputaran Pelawangan Sembalun tak seramai saat ini. Suasana cukup tenang dan tengah malam pun akhirnya tiba.

Jalur menyusur igir malam hari belumlah membuat ciut nyali [sampai pagi nanti saat turun berkali-kali berdecak menyadari jalur malam hari yang kami lewati_efek gelap maka jalannya kepedean mengikuti lampu-lampu senter di depan]. Meindra masih dengan bekal walkman dan lagu-lagu Rancid terus melantun sayup-sayup memecah malam. Sesekali aku yang hanya tau nada dan beberapa penggalan liriknya ikut menyanyi untuk menyembunyikan kesulitan bernafas saat istirahat sejenak. Malam ini summit rame dengan celoteh 3 bocah seangkatan itu dan aku senang melihat mereka begitu kompaknya, meski aku baru mengenal mereka di perjalanan ini.

Jalur pasir Rinjani yang berkerikil dan berbulir pecahan lava kami lewati saat matahari belum muncul. Dan bersyukur, tim lengkap tiba di puncak tepat saat matahari menyembul dari balik Tambora di pulau seberang.

Sunyi dan tenang. Puncak tak ramai bahkan sempat hanya tim kami yang ada di tanah tertinggi pulau Lombok hari itu. Mengingat perjalanan via jalur Torean yang menguras energi bathin, kami putuskan berdoa sejenak di puncak. Luapan emosional karena kami bisa tiba dengan selamat begitu terasa. Kali pertama aku mencapai puncak dan merasa begitu dekat denganNya. Seakan tiada berjarak, tiap orang mengalami pengalaman bathin dan spiritual, di pendakian kali pertama kami ke Rinjani.

Rinjani…terima kasih, kami masih ingin kembali dengan selamat sampai di rumah [isi doa dalam hati__kompak].

Jalur turunan berpasir dan kerikil cukup menyenangkan apalagi dengan kenangan mencapai puncak tadi. Lagu di walkman Meindra berubah melantunkan Coldplay. Polah kocak si Lunatic Boy membuat waktu tempuh 5 jam malam tadi seperti tak ada apa-apanya. Apalagi dengan teganya Meindra dan Gin menggodai Werdhi yang terjangkit gejala mountain sickness sesaat jelang puncak tadi yang melambatkan langkahnya.

Senangnya memiliki tim yang solid hingga Werdhi tetap pantang menyerah dan bertahan hingga puncak. Werdhi tak berkutik dengan seloroh dua bocah itu, karena hingga puncak perut mual dan kepala pusing menguasainya, suntikan semangat dua rekannya yang tak bosan memanggil namanya dari jalur di depan diselingi candaan pastinya tak ayal diakuinya sebagai tantangan untuk bertahan. Hingga akhirnya saat tiba di punca Werdhi kami rawat sejenak dengan minuman hangat dan tak berlama-lama di puncak, Werdhi akhirnya bisa bersahutan dengan Gin dan Meindra.

“Wer, kamu harusnya minum antimo. Anti Mountain-Sickness“, tambah Meindra dan langsung ngeloyor memainkan perosotan pasir sebelum Werdhi sempat membalasnya. Hahaa…maka kekhawatiran akan jurang menganga di kanan kiri jalur pun terlupakan, apalagi ditambah cerahnya pagi itu membuat kami tak henti berkomentar soal kecantikan Rinjani.

Siang itu juga kami kembali dengan riang ke Segara Anak. Kembali membayangkan sensasi berendam di kolam sauna. Dan inilah beberapa polah bocah-bocah tengil ini…

Semoga Pertapaanmu Menemukan Jalan Terbaik, Kawan…

Meindra, memilih pose bertapa…kata dia, ini untuk terhubung dengan Dewi Anjani untuk mendapat undangan kali kedua datang ke sini…

Semalam memulihkan kondisi di Segara Anak, dua kali berendam sejak kemarin, kami belum juga merasa puas dengan kenyaman air hangat di Kalak Rinjani. Menuju Pelawangan Senaru lewat tengah hari, dalam 3 jam kami tiba.

Waktu yang tepat dengan pencahayaan yang tepat, mendirikan tenda dibawah hangat matahari sore. Menyeruput teh sambil memandang jauh ke Segara Anak, masing-masing memiliki waktu bercengkerama dengan Rinjani sore itu.

Terima kasih, Rinjani… keesokan paginya tak lupa kami berfoto dengan memamerkan uang 10.000-an yang bergambarkan danau Segara Anak dari sisi tempat kami bermalam hari ini [fotonya entah di mana sekarang, hahaaa…].

Terima kasih Dewi Anjani memberikan kami kesempatan merasakan semua kenangan denganmu dengan sensasi yang berbeda. Meski, ini kali pertama dan terakhir kawan kami mengunjungimu. Semoga Meindra tenang di sana, dan melanjutkan perjalanannya dalam padang abadi dengan segala kelimpahan keindahan dan ketenangan abadi bersamaMu. Jalur Torean, jalur cantik dengan segala pengalaman emosi dan bathin yang menarik untuk dikunjungi kembali.

Long last journey, Lunatic Boy…

Long last journey, Lunatic Boy…

*aku lunasi permintaanmu menutup cerita perjalanan kita ini…

Sumber: intenarsriani.wordpress.com/

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *