TAMBORA…… satu…………..
5.45′ 25″ akhir team menapakan kaki di Puncak Gunung Tambora, DORO MALEME. (doro=gunung). Ada 2 puncak lain dibibir Kaldera yang..Luar biasa ini …(diduga 7 km diameter) Doro Masena & Doro Mancanga…bahkan lensa 24mm yang kita bawa tidak mampu meng-cover kawah ini secara keseluruhan.
Kala Sang Surya bangkit dari peraduan, tunjukan batas-batas cakrawala kemerahan disusun biru-pastel langit berhiaskan gelembung-gelembung awan putih, sungguh menkjubkan.Pegunungan Rinjani gagah mengapung kebiruan di kejauhan langit Barat. Dua pulau di bawahnya P.Satonda dengan danau Garamnya dan P.Moyo kehijauan sedangkan Gunung Sangiang menyendiri di pulaunya di ufuk timur.
Kawah yang senantiasa berangin dan cenderung Badai ini, pagi itu kelihatan tenang-tenang saja..hanya …selaput tipis merata dari aktifitas DORO AFI TO’I (=Gunung Api Kecil) yang nampak kerucut hitam mungil di dasar kawah dengan kedalaman (katanya 1km). ada 2 pohon cemara-pinus yang bisa diamati di dinding kawah tumbuh bersama padang edelweis.
Di bidang tanah yang berukuran 5 x 4 meter ini ditancapkan 2 bendera (merah putih dan bendera PON Palembang), yang juga di tancapkan di 11 gunung lainnya di Indonesia. Tim itu hanya berselang 3 hari dari pendakian kita. lereng-lereng nya menyusun pegunungan yang luas menyebabkan puncaknya tersembunyi.
Mie rebus(menu yang dihindarkan tim, di masak juga oleh pemandu kita) lumayan buat mengurangi dinginnya Puncak. Acara ini adalah pertama kali dilakukan dipuncak (menurut pemandu) selama pendakian yg pernah dilakukan, karena biasanya dataran puncak selalu berangin Kencang. Namun tidak hari ini.
Prasasti beton Kunjungan wisata Bupati Dompu yang melakukan pendakian beberapa bulan lalu (merupakan gambaran saratnya pulau ini dengan politiknya dimana pegunungan Tambora melingkupi 2 Kabupaten, DOMPU dan BIMA) menjadi tempat berlindung dari hembusan hawa dingin.
TAMBORA…… Dua…………..
Tambora adalah impian sejak tahun 98, ketika memuncaki Rinjani bersama MOLE, NIPONG n ATENK…..akhirnya Kelana membawa aku dan team menjamah gundukan hitam trapesium diatas horizon timur bersebelahan dg sunrise.Tambora, (tam=manusia, mbhora=Hilang), terdapat banyak sekali cerita-cerita mistis dan religius dari istilah ini. Konon 4 desa di kaki gunung tambora lenyap akibat letusan ini, (bisa dibayangkan dari ukuran kaldera dal letusan yang berakibat sampai Eropa ini).dan mahluk-mahluk inilah yang menghantui pikiran kita selama pendakian. tapi dg doa dan keyakinan kita melaluinya dg nyaman.
tambora….tiga…
Pagi itu 3 carrier dan satu daypack kami packing untuk perbekalan 5 hari; tenda,alat masakdan peralatan dokumentasi….berangkat dari markas Humpa menuju terminal satu-satunya di Dompu…kira-kira 12 siang ,takut kehilangan bis ke Desa calabai (hanya 2 kali sehari, 6 pagi dan 12 siang,tapi merekahanya akan berangkat jika muatan penuh…….) itu kenapa kita menunggu sampai jam 2 siang,ditemani anak2 humpa yang ikut mengantar.mereka semua nice brother..Uwi Ke’ta (Ktelamerah) cemilan sembari ngobrol….sampe tiba di desa Pancasila (desa terakhir)
4 Kilometer kemudian adalah batas terakhir sinyal dapat diterima semua operator GSM….dankomunikasi digantikan radio Orari /HT…alat yg membuat kami terkenal diseluruh dompu.pemandangan setengah kota berangsur – angsur berganti pemukiman traditional SUMBAWA (rumah panggung kayu) ditengah ladang kering dan pohon kelapa…..
Memasuki tanjakan Teka Sire, pemandangan nyiur hijau di sela-sela perbukitan jati tandus dibawah menjadi daya tarik penumpang bus yang mulai berdesakan dan sebagian penumpang dengan rela harus naik ke atas bus (tempat baarang). Dan merupakan tempat yang pas untuk menikmati perjalanan ini….cuma dahan-dahan melintang rendah setiap saat siap menampar.
Aroma bunga jambu mete (mirip kayu manis) merebak sepanjang jalur daerah transmigran Bali…pura disudut pekarangan dan merah bunga bougenville menjadi pemanis didaerah yang hampir tidak nampak air ini. Jalan mulus hanya impian untuk 4 jam terakhir…
TAMBORA…… Empat…………..
Jika berangkat dari terminal Dompu pagi hari Bis tidak sampai pada desa terakhir, Pancasila.Hanya sampai desa Calabai dan untuk mencapai kaki gunung harus naek ojek selama sejam ongkosnya 15 ribu rupiah. Jadwal Siang banyak dipilih para pendaki karena Bis akan bermalam di Desa terakhir untuk angkutan pagi balik ke Dompu.
Siang itu cerah banget..sedikit awan yang melintas. Sunglases dan scarft musti disediakan jika ingin menikmati goyangan hebat diatas bus. carrier berjubel dengan pupuk,bawang, dan gilanya lagi lemari juga nyantol…hebat.!!Pegangan tangan dan kaki harus siap sedia kalo gak ingin terpental dijalur yang gersang sabana.
dataran berbukit ini dulunya adalah lahan hijau yang ditutup lahar hingga menimbun laut. ini menyebabkan banyak terdapat sumber mata air bawah tanah di bibir pantai. salah satunya adalah HO’DO, peristirahatan setengah jalan untuk mengisi perut dan tambal ban akibat kejamnya jalur lahar.
sejauh mata memandang semak kering dengan puluhan kerbau dan kambing gembalaan dibawah pohon bekul berteduh. dataran ini akan menghijau jika hujan tiba.pernah lihat buku australia di perpus sma4, begitulah kira2 pemandangan disini. Red Rocknya australia mirip dengan Doro Mancanga padang ini cuman undah agak kehitaman dengan latar belakang biru laut dan kepulauan sumbawa..perfect.
Anugerah memang, kita dapat menyaksikan penuh bentuk tambora dari gersang kaki sabana, tumpul kalderanya hinnga gugusan awan tipis di langit biru. dan ketika senja bernjak kemerahan matahari di atas laut Moyo..sebelum memasuki Desa Pelabuhan Kayu, Calabai.
Angin mulai dingin diatas bus dan penumpang didalam sudah banyak yang turun..akhirnya kita nikmati perjalanan sejam kemudian dengan lebih nyaman. jam setengah delapan, termasuk lambat, kita saampai di depan rumah kepala desa Pancasila. Kita langsung di evakuasi ke rumah didepannya, Om Bec, begitu pemilik rumah panggung ini dipanggil oleh para pendaki….dan malam larut dalam cerita misteri Ombec……..
Kapal tilong Kabila yang kita tumpangi selama 22 jam dari benoa sampe Bima cukup membuat kita terpana betapa berartinya arti sebuah Penerimaan…….berkelas di Ekonomi dek bawah jangan pernah berharap toilet yang nyaman,berdesakan di pantray untuk makanan entah rasanya dimana, disini tdak ada budaya antre walo yang menjaga seorang badan kekar berpakaian loreng. nomor cabin dalam ticket hana sebuah formalita dan bersedialah untuk tidur di ruang makan dan sedikit untung ada Teve-nya dan musti berjingkat-jingkat unutk keluar pipis melewati lantai bergeletaan “pindang” anak-anak dan orang tua lengkap dengan bawaannya yang beraneka ragam bau.
Mendarat diBima di pagi hari,dan biasa tawaran mulai dari ojek,angkot, dan bendhur(cidomo kalo di lombok) tdk kita layani sebab familiku jemput dari Dompu. Dan Antre memang budaya yang susah untuk diterapkan di bumi vulkanis ini, kendaraan masuk dan keluar pelabuhan aja berebut “setengah mati” (unkapan yang paling sering dipake).
Panas disini tak jauh beda dari Bali cuman udara dingin pegunungan masih terasa di pelabuhan yg sedikit berdebu ini.
Oleh keluarga di Dompu ini kita diperkenalkan dengan HUMPA (diambil dari nama daerah sejenis pohon rotan yang ada airnya) Himpunan Pecinta Alam, swasta Dompu, yang angotanya matan mapala di Rantauan serta aparat pemda sampe DPR…gila ..dan merekalah ( 2 orang ,minimal katanya) memandu kita ke Gunung…dan berlaku setiap tamu yang Singgah ke HUMPA…dan oleh-oleh arak Bli sangat mereka harapkan tapi sayang kita baru tau mereka. Tanpa mereka mungkin kita tersesat dan susah untuk membayangkan puncak….
Tambora, da Track – End..
Diterangi lampu petromaks yang baru saja dinyalakan sesampainya kita di rumah Om Bec, keluarga yang baru saja akan beranjak tidur kembali sibuk menyalakan api dapur utk menyiapkan jamuan malam untuk kami. Beberapa bungkus mie kami serahkan sekedar penambah lauk.Kopi dan teh hangat menyapa, sembari menunggu ganjal perut dengan biskuit.
Melapor ke kepala desa dan berkunjung kerumah Bang Saeful, Bos Geng KAPATA-Kelompok Anak Pecinta Alam Tambora, untuk memberitahukan keberadaan Kami. Kapata baru berdiri setahun dan menjadi pemandu porter bagi tamu pendaki Tambora seperti halnya om Bec. 25 ribu sehari mereka tarifkan. Tapi kami beruntung punya bang Killer dan bang Pay, gratisan dari Dompu.
Bersumbu lampu minyak tim duduk melingkari hidangan di ruang tengah beralaskan karpet. hanya ada mie rebus dan nasi hangat yang bisa kami santap untuk tenangkan perut sampai besok.sederhana tapi istimewa.
Di beranda yang sempit ini hanya ada jangkrik yang bisa kami dengar dan celotehan om Bec yang tak kunjung usai menjadi santapan mental kedua unutk perjalanan keesokan hari. Om Bec memandu di gunung Tambora sejak tahun 1982 dan begitu banyak mistery yang beliau alami bersama penunggu-penunggu Tambora. Keder juga mendengarnya, untung mata sudah tidak bisa menahan kantuk dan tidur adalah salah satu jalan untuk mengistirahatkannya.
Dilantai panggung yang tidak rata tempat kami makan tadi tersedia satu tempat tidur berkasur, malam ini hanya untuk ceweknya. Cowoknya harus bisa menyesuaikan punggung meringkuk rebutan selimut sleeping bag dan bantal dikepala.
Adzan subuh meraung, kumpulkan energi dan semangat untuk menahan udara dingin di luar sana. Tersedia ruang 2X2 di tutup papan kayu sebatas kepala dan lantai papan di belakang rumah hanya bisa untuk mandi dan mencuci. untung perut masih bisa kompromi. air dalam 2 drum besar di kamar mandi ini dialirkan dari sumber air dalam hutan sana melalui selang-selang kecil kerumah-rumah penduduk. Dingin abiz..paksa..biar seger diperjalanan.
Usai makan pagi yang menunya lebih lengkap dari kemarin malam tim memulai pendakian dengan dilepas kepala Desa Pancasila,Tambora, Rusman Abe.Bapak ini banyak berjasa dalam pengembangan desa Tambora. Petani contoh didatangkan dari Bali untuk mengmbangkan pertanian di kaki gunung Tambora, shelter dibangun untuk para pendaki,dan rumah penginapan sedang dibangun untuk kenyamanan pendaki.
Pagi yang cerah, setapaki jalur Logging-penebangan kayu hutan- melintasi perkebunan coklat dan kopi. 2 jam berjalan menyesuaikan langkah, nafas dan mata melitasi jalur panas berdebu yang pada musim hujan melebur licin dan berlumpur. Kacamata dan bandana adalah harus musim ini. Lelah bergumam “Apa yang kucari disini, tinggalkan empuknya kasur dan masakan ibu”…Huhh..
Berbelok kekiri saat trek utama di tumbuhi padang gajah, sejauh 15 menit kami menikung setapak ditumbuhi Arbey Merah dikanan-kiri dan tibalah kami di Pura Agung Tambora…jejak paling timur Peranda Sakti Wawu Rauh-pendiri Uluwatu, dan pura lainnya di Bali. Pohon Kalanggo berukuran Raksasa dengan liliana-nya bergelayutan menaungi pura,memukau. Didinding lembah sisi Pura mengalir air dari akar pohon Kalanggo,di bendung dipergunakan sebagai Beji-sumber air suci, juga dimanfaatkan untuk keperluan masak dan berbasuh pada bilik papan yang disediakan.
Bersimpuh sembah kagumiNya, menerawang sela-sela cabang Kanopy, ada sesuatu yang aneh nampak di langit. Ada pelangi melingkari terik Surya yang bersembunyi di balik dedaunan, awan tipis lalu-lalang..Wow.. lama kami terkesima…
Aku tinggalkan tim yang asik mengobrol, mengikuti jalur rintis disebelah kiri Pura. Ketika hutan mulai berganti semak rendah..Langkahku terhenti dihadapkan Lingkaran Indah itu lagi..dilangit biru yang cerah, bulat penuh bak cakra berputar berkilau..Surya Chandra, aku menyapanya dengan sujud..Kutemui sebuah keluarga dalam rumah panggung, salah satu penduduk Desa Tambora yang menyendiri. pekerja perkebunan kopi. Berlari kembali menemui tim tuk lanjutkan perjalanan. Misi pertama telah selesai.
Menyusuri jalur utama kembali melintasi beberapa jembatan kayu. Di sebuah turunan, jalan buntu dengan lembah erosi menganga, Penebangan liar sisakan tandus. Dan jalan lain pun tertutup. Rupanya 2 Sae (abang) itu salah mengambil tikungan. Tidur malas tunggu mereka mencari jalan dan keputusan, dan karena hari sudah sore kami balik ke Post I yang telah kami lewati tak lama tadi.
Ada seorang pendaki dan 2 orang porter-Kapata sedang menikmati hidangan di shelter panggung tak berdinding bercat hijau. Atapnya dari seng, dan hanya beberapa bilah papan yang masih menyangga, mungkin dipakai kayu bakar. Kita bangun tenda di luar dan shelter hanya berfungsi sebagai tempat masak. Gek’An, koki kita malam itu..berpesta di depan tenda dengan nyala api unggun dan Lilin..
Malam itu begitu singkat,namun cukup panjang untuk dinikmati dalam kehangatan tenda. setelah Dupa dinyalakan, kedua abang penjaga buru-buru masuk tenda dan semuanya terlelap dalam misteri Post I yang jarang orang berani bermalam disana. “Ada Cerita telapak tangan dan bola mata mencari badan kerap ditemui pendaki setelah seorang Bule Belanda ditimpa pohon besar.” bayanganku mirip film Idle Hand..aja/..ah.cuek
Kicau burung tandakan pagi. Isi botol dg air pipa yang di bocorin. Kenceng man! Nutrigel sisa semalam menjadi teman kopi pagi. krn perjalanan hari ini cukup singkat puaskan makan dan santai sebelum siksaan tanjakan demi tanjakan berdebu. Jejak mobil mulai menghilang dipertengahan post I ke Pos II. jalan bercabang dan mengecil begitu pula ukuran jenis pohonnya. hutan yang rapat cenderung landai teduhkan dari teriknya siang. perlahan monyet mulai jarang bersautan lucu..”poukk”.., burung-burung cantik mulai menonjolkan diri.
gemericik anak sungai isyarakatkan pos II. shelter panggung dan berdinding cabang pohon, rapi tapi bergelombang. Areal sekitar cukup untuk tenda, tapi awas jangan melintang di setapak, kalo tidak ingin dilalui nenek ngesot yang melegenda menuju anak sungai untuk mandi. Keramas ringan di sela-sela bebatuan sungai segarkan kepala dari debu yang lengket dikepala semenjak dari Dompu. Api kecil hangatkan suhu dingin post ini.
Sebrangi anak sungai yg licin dan pohon tumbang mewarnai-merunduk ato keseimbangan..awal tumbuhnya lateng setinggi kepala dan jalur mulai menanjak. Ketika jalan melandai,rumput paku, ilalang,dan juntaian bungan padang gajah mulai tampak disela-sela semak berbunga bunga merah,lembah-lembah lereng Tambora baru dapat dinikmati. Aroma(Kecarum) menguap dalam teriknya suhu diatas jalur tertutup ilalang, kering tenggorokan dibuatnya..aakhh..
Tanjakan mulai jarang dengan hadirnya batang-batang pohon sedang dan pada punggungan yang lebar tibalah di pos III. Pondok Halimun beigtu pos ini disebut..berkeliling semak arbey merah dan teduh dibawah pepohonan pas buat gantung Hammock. Pos favorit ini tersedia sumber air rembesan (kira2 tiga punggungan melipir kanan), tempat berbagai jenis burung minum..terasa karat tapi layak minum kok..
Koki senior, Oryza enjoy siapkan makan sore dan malam, temani gek’An yang mulai tampak Sakit-kelelahan ato Masuk angin. Bakso sup dan Kopi Crackers untuk sore yang panjang. Untuk istirahat yang cukup, makan malam lebih awal saat shilloute cabang-cabang indah mulai memudar.
Pkl 12:17 pagi Alarm berbunyi, penuhi botol air dan snack dalam daypack,Kunci Tenda, nyalakan mata dan senter menuju Puncak. Jangan ada kulit anggota badan terbuka karena sengatan duri Hutan lateng menanti, Mind your head – mind your step… Daun lateng ini lebih besar dari ukuran tangan, beduri hijau, dan meski sudah menjadi sampah kering akan tetap menyengatkan gatal jika tak sengaja diduduki.
pos IV dipunggungan yang lebar masih menyisakan pohon lateng dan pinus..Cahaya bulan sinari setapak di igir berbukit ladang semak pohon (Tari’de) yang menyengatkan bau. Pos V menjadi tempat berlindung sementara para pendaki dari Angin Fo’de (angin kencang berputar) yang menguasai dataran puncak. Di pos ini hanya ada sumber air yang berwarna hijau-kering di musim kemarau. masak mie isi waktu karena kita terlalu pagi untuk dipuncak.
Terang bulan bertabur bintang dan gugusan awan membentuk formasi belalang dan burung Phoenix menjadi lukisan malam yang Indah. Dataran lembah yang panjang berakhir pada bibir kawah ditutupi pasir halus yang Lebar. Ditempat yang lapang ini Upacara 17-an tiap tahun diselenggarakan oleh HUMPA dan dihadiri pendaki daerah lainnya. Pada Upacara Tahun ini oleh Ketua HUMPA, sbg inspectur upacara, Lembah ini diresmikan bernama Lembah Surya Chandra -dinamakan setelah lukisan-lukisan Indah yang Kami saksikan.
Demikianlah perjalanan ini disusun, bebas..
Markas perjuangan Humpa:
Jl.Bhayangkara No.03 (Gedung pemuda Dompu) Sumbawa-NTB
Jika berkelana Ke Tambora/Dompu disarankan mampir! ada keramahan dan persaudaraan disana (yang dari Bali, Arak Bali sangat digemari. jangan lupa buah tangannya) ..selesai